Penyebaran Islam ke Indonesia
secara intentif dimulai pada abad VI Masehi. Aceh merupakan wilayah pertama
kali yang menerima Islam. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan
mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi
pewaris Nabi Saw. Penghayatan terhadap ajaran Islam dalam masa yang panjang itu
telah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat berdasarkan
dari renungan para ulama kemudian di praktekkan, dikembangkan dan dilestarikan,
lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteomeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun
bak Putro Phang, Reusam bak laksamana” yang artinya “Hukum adat di tangan
pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan Ulama”. Kata-kata ini merupakan
pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi
masyarakat Aceh masa itu.
Di
dalam menerapkan beberapa aspek-aspek tertentu dari hukum syariah. Sejarah penerapan
syariah di Aceh sangat kompleks. Begitu juga dengan masyarakat Aceh, yang
merupakan masyarakat yang tidak terlepas dari syari’at islam dan adat dalam
setiap prilaku sehari-harinya baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga.
Walaupun masyarakat Aceh dikenal sebagai orang-orang yang taat beragama,
identitas Aceh tidak didasari pada agama Islam saja, tapi juga didasari
faktor-faktor etnis, politik, ekonomi dan sejarah. Konflik dengan Belanda dan
pemerintah pusat sering dikaitkan dengan usaha-usaha untuk penerapan hukum
syariah. Oleh sebab itu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui
pendekatan nilai-nilai struktural keislaman dinilai banyak pihak merupakan
langkah yang tepat, karena dapat mengontrol penyimpangan dan sesuai pula dengan
nilai-nilai kebudayaan masyarakat Aceh dahulu, yang secara historis telah
dikenal dengan tiga keistimewaan yaitu, pendidikan, agama dan adat istiadat
Tidak bisa dipungkiri bahwa kejayaan Aceh
pada masa lalu adalah buah dari Pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan
bermasyarakat saat itu. Berdasarkan motivasi mewujudkan kembali kejayaan Aceh
dimasa lalu, serta keluar dari konflik yang berkepanjangan, maka menguatlah
keinginan putra-putra Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam seluruh
aspek kehidupan secara formal dengan menuangkannya dalam Peraturan Daerah
(PERDA), yang kemudian dikenal dengan nama Qanun. Konsep yang mengatur
tentang pelaksanaan Syari’at Islam ini terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 5
Tahun 2000. PERDA Provinsi NAD nomor 33 tahun 2001 tentang susunan organisasi
dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam. Untuk mengontrol/mengawasi Pelaksanaan
Syari’at Islam di lapangan Pemerintahan Daerah membentuk badan Wilayatul Hisbah
(WH) yang tata kerja dan kewenangannya di atur dalam keputusan Gubernur
Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01 tahun 2004.
Secara formal aplikasi syari’at islam di Aceh telah
didukung oleh undang-undang dan qanun-qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun
yang diterapkan kepada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan syaria’at islam,
yaitu :
- Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at islam bidang akidah, ibadah dan syi’ar islam. Kemudian disusul oleh
- Qanun No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar (minuman keras),
- Qanun No.13 Tahun 2003 tentang minuman maisir (perjudian),
- Tahun Qanun No.14 Tahun 2003 tentang khalwat (perbuatan mesum/khalwat).
I. SEJARAH WILAYATUL HISBAH
Isntitusi
wilayah hisbah (WH) sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi
Negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung oleh Rasulullah SAW.,
beliau lah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah)
pertama dalam Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi
aktifitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum
berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkannya gandum kering di
atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, “barang
siap yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami.” Rasulullah tiap
hari memantau paelaksanaan syari’ah oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggan
yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk
memperbaikinya.
Wilayatul hisbah adalah departemen resmi yang dibentuk
oleh pemerintah Negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma’ruf
nahi mungkar. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah
al-Syari’ah, barmakna “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh
institusi pemerintah untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan
amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini
merupakan keperluan agama yang terpenting.
Pelembagaan
WH dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar
ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah
departemen pemerintah yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Dinasti Bani
Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Utsmani sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang
mesti ada dalam setiap Negara muslim. Pada masa kejayaan Islam DI Andalusia,
institusi pengawas syari’ah disebut dengan mustasaf., sekarang
dikalangan masyarakat spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah Dinasti
Turki Usmani runtuh, sulit dilacak Negara muslim yang masih mempraktekan WH,
seiring dengan dikuasainya Negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi
ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan
hilangnya berbagai institusi Islam lainnya.
Literature
tentang wilayah hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab fiqih.
Para ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan
rici tugas, wewenang, bentuk, dan perangkat institusi Hisbah sebagai manual
pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-Qadha’
(peradilan). Namun, ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH
dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Akhkam al-Sulthaniyyah.
Bahkkan Ibnu Taymiyyah , karana mengnggap begitu pentingnya institusi ini
menyusun sebuah risalah khusu landasan teori dan operasional WH dalam kitab al-Hisbah
fi al-Islam.
Wilayatul
Hisbah adalah sebuah badan atau lembaga yang diperkenalkan kembali kepada
masyarakat Aceh. Lembaga ini sudah sekian lama tidak dikenal oleh masyarakat
seiring perkembangan zaman ke arah medernisasi. Sejarawan menyebutkan bahwa
Wilayatul Hisbah merupakan lembaga yang popular di masa-masa kejayaan agama
Islam, sehingga istilah WH (kontek kekinian) terdapat dalam kitab-kitab fiqh
terutama as-Siyasatusy Syar’iyyah, al-Ahkamus Sulthaniyyah atau an-Nuzhumul
Islamiyah.
Dalam
kitab As-Siyasatusy Syar’iyyah diuraikan tiga otoritas penegakan Hukum
yaitu:
- Wilayatul Qadha yaitu lembaga atau badan yang berwenang untuk menyelesaikan sengketa sesama rakyat atau badan arbitrase (perdamaian)
- Wilayatul Mazhalim yaitu lembaga atau badan yang berwenang menyelesaikan sengketa ketataniagaan negara serta sengketa antara pejabat dengan rakyat atau antara bangsawan dengan rakyat jelata (dalam istilah yudikatif sekarang disebut PTUN)
- Wilayatul Hisbah yaitu badan pemberi ingat dan badan pengawas. Atau yang berwenang mengingat anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang harus di ikuti, cara menggunakan dan mentaati peraturan serta tindakan yang harus dihindari karena pertentangan dengan peraturan.
II. PERAN DAN KEWENANGAN WILAYATUL HISBAH
1. Peran WH
Seiring pemberlakuan undang-undang Republik Indonesia No
44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah istimewa
Aceh dan UU Republik Indonesia No 18 tahun 2001 tentang otonomi Khusus bagi
provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta PERDA No 5 tahun 2000 tentang
pelaksanaan Syari’at Islam maka terbentuklah sebuah lembaga WH yang dikuatkan
dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No 01 tahun 2004
tentang organisasi dan tata kerja Wilayatul Hisbah yang keberadaannya
diharapkan untuk mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh
Darussalam. Di samping itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan dibentuk
pula Muhtasib-Muhtasib gampong yang terdiri dari tuha peut gampong dan
tokoh-tokoh muda sebagai Wilayatul Qura yang bekerja secara suka rela
ditingkat gampong masing-masing, lembaga ini diharapkan bisa bekerja mengawasi
pelaksanaan Syari’at Islam di tingkat yang paling rendah dan satu hubungan yang
bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif dengan Wilayatul Hisbah yang
bertugas di kecamatan dan Kabupaten.
Imam
Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah
mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang
melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang
mengerjakannya. WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau
Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah
(pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas
muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam
masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya
tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang
yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga
dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar,
serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan,
memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi
makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang
bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila
dan lain-lain.
WH
memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah
amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari
perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan
kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab
itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar,
di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya
sekedar berada di kantor.
Namun
demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak dan sudah ma’ruf di
kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan
ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering
juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian
masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan,
syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian,
kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga
lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga
bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan syariat Islam yang telah
ditetapkan.
2. Kewenangan WH
Di dalam keputusan Gubernur NAD No 01 tahun 2004 tentang
kewenangan pembentukan Organisasi WH dijelaskan :
- Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
- Melakukan pembinaan dan advokasi spiritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syari’at Islam
- Menegur menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut di duga telah, sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
- Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam ke penyidik.
Setelah
kehadiran Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 kedudukan WH
menjadi lebih jelas. Kalau sebelumnya keberadaan WH hanya berdasarkan Qanun
Aceh, maka dalam undang-undang ini WH dianggap sebagai bagian dari SATPOL
PP dan diberi nama Polisi Wilayatul Hisbah. Pengaturan tentang
kewenangan, tugas, dan jenjang kepangkatan mengikuti peraturan
perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Secara nasional, tugas
penegakan peraturan daerah dibebankan kepada SATPOL PP sesuai dengan jenjangnya
masing-masing. Artinya Qanun Provinsi ditegakkan oleh Satpol PP Provinsi sedang
Qanun kabupaten/kota ditegakkan oleh Satpol PP kabupaten/kota. Sedang tugas
penyidikan atas pelanggaran PERDA menjadi tugas/kewenangan PPNS sesuai dengan
jenjangnya masing-masing. Dengan demikian Polisi WH hanya berwenang melakukan
sosialisasi, pengawasan dan pembinaan qanun syari’at Islam dan tidak berwenang
melakukan penyidikan.
Menurut
Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, otonomi khusus yang
diberikan kepada Aceh, termasuk pelaksanaan Syari’at Islam (yang akan menjadi
hukum Aceh) adalah kewenangan Provinsi dan dilaksanakan melalui Qanun Provinsi
(Aceh). Qanun kabupate/kota tidak berwenang mengatur pelaksanaan Syari’at Islam
(otonomi khusus) kecuali atas perintah Qanun Provinsi. Sedang tugas dan
kewenangan penyidikan atas pelanggaran Qanun Provinsi menurut Undang-Undang
Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dibebankan kepada PPNS Provinsi dan
Penyidik Polisi, bukan hanya kepada PPNS. Dengan demikian Polisi WH baru
berwenang melakukan penyidikan kalau telah memenuhi syarat dan sudah diangkat sebagai
PPNS, sesuai dengan peraturan yang berlaku secara nasional.
Dengan
dibentuknya WH di NAD, maka setidaknya Aceh adalah negeri keempat di dunia
Islam yang membentuk sebuah lembaga pemerintahan dengan tugas utama mengawasi
pelaksanaan Syariat Islam. Ketiga negara lainnya adalah Terengganu-Malaysia,
Arab Saudi berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3 september
1396H, dan Maroko dengan UU Nomor 22 tahun 1982.
Aceh
menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi
keislaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di
bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat
Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai “jantung” dalam Dinas Syariat Islam
sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat.
Untuk itu landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang
institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH
menegakkan syariat.
Pembentukan
institusi ini adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Kunci
kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran
keagamaan yang tinggi terwujud. Yaitu masyarakat dengan standar moral yang
tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan
atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela,
perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba
dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat
pemerintah lainnya telah gagal menegakkan syari’at.
Referensi: Dari Berbagai Sumber