Senin, 04 Februari 2013

Wilayatul Hisbah, Peran dan Kewenangannya




Penyebaran Islam ke Indonesia secara intentif dimulai pada abad VI Masehi. Aceh merupakan wilayah pertama kali yang menerima Islam. Masyarakat Aceh amat tunduk kepada ajaran Islam dan mereka taat serta memperhatikan fatwa ulama, karena ulamalah yang menjadi pewaris Nabi Saw. Penghayatan terhadap ajaran Islam dalam masa yang panjang itu telah melahirkan budaya Aceh yang tercermin dalam kehidupan adat berdasarkan dari renungan para ulama kemudian di praktekkan, dikembangkan dan dilestarikan, lalu disimpulkan menjadi “Adat bak Poteomeureuhom, hukom bak Syiah Kuala, Qanun bak Putro Phang, Reusam bak laksamana” yang artinya “Hukum adat di tangan pemerintah dan hukum syari’at ada di tangan Ulama”. Kata-kata ini merupakan pencerminan dari perwujudan Syari’at Islam dalam praktek hidup sehari-hari bagi masyarakat Aceh masa itu.
            Di dalam menerapkan beberapa aspek-aspek tertentu dari hukum syariah. Sejarah penerapan syariah di Aceh sangat kompleks. Begitu juga dengan masyarakat Aceh, yang merupakan masyarakat yang tidak terlepas dari syari’at islam dan adat dalam setiap prilaku sehari-harinya baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga. Walaupun masyarakat Aceh dikenal sebagai orang-orang yang taat beragama, identitas Aceh tidak didasari pada agama Islam saja, tapi juga didasari faktor-faktor etnis, politik, ekonomi dan sejarah. Konflik dengan Belanda dan pemerintah pusat sering dikaitkan dengan usaha-usaha untuk penerapan hukum syariah. Oleh sebab itu peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui pendekatan nilai-nilai struktural keislaman dinilai banyak pihak merupakan langkah yang tepat, karena dapat mengontrol penyimpangan dan sesuai pula dengan nilai-nilai kebudayaan masyarakat Aceh dahulu, yang secara historis telah dikenal dengan tiga keistimewaan yaitu, pendidikan, agama dan adat istiadat
          Tidak bisa dipungkiri bahwa kejayaan Aceh pada masa lalu adalah buah dari Pelaksanaan Syari’at Islam dalam kehidupan bermasyarakat saat itu. Berdasarkan motivasi mewujudkan kembali kejayaan Aceh dimasa lalu, serta keluar dari konflik yang berkepanjangan, maka menguatlah keinginan putra-putra Aceh untuk melaksanakan Syari’at Islam dalam seluruh aspek kehidupan secara formal dengan menuangkannya dalam Peraturan Daerah (PERDA), yang kemudian dikenal dengan nama Qanun. Konsep yang mengatur tentang pelaksanaan Syari’at Islam ini terdapat dalam Peraturan Daerah Nomor 5 Tahun 2000. PERDA Provinsi NAD nomor 33 tahun 2001 tentang susunan organisasi dan Tata Kerja Dinas Syari’at Islam. Untuk mengontrol/mengawasi Pelaksanaan Syari’at Islam di lapangan Pemerintahan Daerah membentuk badan Wilayatul Hisbah (WH) yang tata kerja dan kewenangannya di atur dalam keputusan Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 01 tahun 2004.
Secara formal aplikasi syari’at islam di Aceh telah didukung oleh undang-undang dan qanun-qanun yang bersifat publik. Ada 4 Qanun yang diterapkan kepada masyarakat berkaitan dengan pelaksanaan syaria’at islam, yaitu :
  1. Qanun No. 11 Tahun 2002 tentang pelaksanaan syari’at islam bidang akidah, ibadah dan syi’ar islam. Kemudian disusul oleh
  2. Qanun No.12 Tahun 2003 tentang minuman khamar (minuman keras), 
  3.  Qanun No.13 Tahun 2003 tentang minuman maisir (perjudian),
  4. Tahun Qanun No.14 Tahun 2003 tentang khalwat (perbuatan mesum/khalwat).

I. SEJARAH WILAYATUL HISBAH
Isntitusi wilayah hisbah (WH) sebenarnya bukanlah lembaga baru dalam tradisi Negara Islam. Tradisi hisbah diletakkan langsung oleh Rasulullah SAW., beliau lah muhtasib (pejabat yang bertugas melaksanakan hisbah) pertama dalam Islam. Seringkali beliau masuk ke pasar Madinah mengawasi aktifitas jual beli. Suatu ketika Rasulullah mendapati seorang penjual gandum berlaku curang dengan menimbun gandum basah dan meletakkannya gandum kering di atas, beliau memarahi penjual tersebut dan memerintahkan untuk berlaku jujur, “barang siap yang menipu maka ia tidak termasuk golongan kami.” Rasulullah tiap hari memantau paelaksanaan syari’ah oleh masyarakat Madinah. Setiap pelanggan yang tampak olehnya langsung mendapat teguran disertai nasihat untuk memperbaikinya.
Wilayatul hisbah adalah departemen resmi yang dibentuk oleh pemerintah Negara Islam. Tugas utamanya adalah melaksanakan amar ma’ruf nahi mungkar. Istilah wilayah, menurut Ibnu Taimiyah dalam al-Siyasah al-Syari’ah, barmakna “wewenang” dan “kekuasaan” yang dimiliki oleh institusi pemerintah untuk menegakkan jihad, keadilan, hudud, melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta menolong pihak yang teraniaya, semua ini merupakan keperluan agama yang terpenting.
Pelembagaan WH dengan struktur yang lebih sempurna dimulai pada masa Umar bin Khattab. Umar ketika itu melantik dan menetapkan bahwa wilayatul hisbah adalah departemen pemerintah yang resmi. Tradisi ini dilanjutkan oleh Dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah, Turki Utsmani sampai akhirnya WH menjadi lembaga yang mesti ada dalam setiap Negara muslim. Pada masa kejayaan Islam DI Andalusia, institusi pengawas syari’ah disebut dengan mustasaf., sekarang dikalangan masyarakat spanyol dikenal dengan al-motacen. Setelah Dinasti Turki Usmani runtuh, sulit dilacak Negara muslim yang masih mempraktekan WH, seiring dengan dikuasainya Negara-negara muslim oleh kolonialisme, institusi ke-Islaman yang sebenarnya sudah mapan ini lambat laun hilang bersamaan dengan hilangnya berbagai institusi Islam lainnya.
Literature tentang wilayah hisbah sangat banyak dan tersebar dalam berbagai kitab fiqih. Para ulama awal Islam telah meletakkan landasan teoritis dan menjelaskan dengan rici tugas, wewenang, bentuk, dan perangkat institusi Hisbah sebagai manual pelaksanaan lembaga ini. Kajian tentang WH biasanya dimasukkan dalam bab al-Qadha’ (peradilan). Namun, ada juga ulama seperti Imam al-Mawardi yang membahas WH dalam bab tersendiri secara detail dalam kitabnya al-Akhkam al-Sulthaniyyah. Bahkkan Ibnu Taymiyyah , karana mengnggap begitu pentingnya institusi ini menyusun sebuah risalah khusu landasan teori dan operasional WH dalam kitab al-Hisbah fi al-Islam.
Wilayatul Hisbah adalah sebuah badan atau lembaga yang diperkenalkan kembali kepada masyarakat Aceh. Lembaga ini sudah sekian lama tidak dikenal oleh masyarakat seiring perkembangan zaman ke arah medernisasi. Sejarawan menyebutkan bahwa Wilayatul Hisbah merupakan lembaga yang popular di masa-masa kejayaan agama Islam, sehingga istilah WH (kontek kekinian) terdapat dalam kitab-kitab fiqh terutama as-Siyasatusy Syar’iyyah, al-Ahkamus Sulthaniyyah atau an-Nuzhumul Islamiyah.
Dalam kitab As-Siyasatusy Syar’iyyah diuraikan tiga otoritas penegakan Hukum yaitu:
  1. Wilayatul Qadha yaitu lembaga atau badan yang berwenang untuk menyelesaikan    sengketa sesama rakyat atau badan arbitrase (perdamaian)
  2.  Wilayatul Mazhalim yaitu lembaga atau badan yang berwenang menyelesaikan sengketa ketataniagaan negara serta sengketa antara pejabat dengan rakyat atau antara bangsawan dengan rakyat jelata (dalam istilah yudikatif sekarang disebut PTUN)
  3.  Wilayatul Hisbah yaitu badan pemberi ingat dan badan pengawas. Atau yang berwenang mengingat anggota masyarakat tentang aturan-aturan yang harus di ikuti, cara menggunakan dan mentaati peraturan serta tindakan yang harus dihindari karena pertentangan dengan peraturan.



 II. PERAN DAN KEWENANGAN WILAYATUL HISBAH
1. Peran WH
Seiring pemberlakuan undang-undang Republik Indonesia No 44 tahun 1999 tentang penyelenggaraan keistimewaan provinsi daerah istimewa Aceh dan UU Republik Indonesia No 18 tahun 2001 tentang otonomi Khusus bagi provinsi Nanggroe Aceh Darussalam serta PERDA No 5 tahun 2000 tentang pelaksanaan Syari’at Islam maka terbentuklah sebuah lembaga WH yang dikuatkan dengan Surat Keputusan (SK) Gubernur Nanggroe Aceh Darussalam No 01 tahun 2004 tentang organisasi dan tata kerja Wilayatul Hisbah yang keberadaannya diharapkan untuk mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di Nanggroe Aceh Darussalam. Di samping itu untuk memperkuat pengawasannya di lapangan dibentuk pula Muhtasib-Muhtasib gampong yang terdiri dari tuha peut gampong dan tokoh-tokoh muda sebagai Wilayatul Qura yang bekerja secara suka rela ditingkat gampong masing-masing, lembaga ini diharapkan bisa bekerja mengawasi pelaksanaan Syari’at Islam di tingkat yang paling rendah dan satu hubungan yang bersifat koordinatif, konsultatif dan komunikatif dengan Wilayatul Hisbah yang bertugas di kecamatan dan Kabupaten.
Imam Mawardi dalam al-ahkam al-sulthaniyyah mengatakan; WH mempunyai tugas melaksanakan Amar ma’ruf jika tampak nyata orang melalaikannya dan melakukan nahi mungkar jika tampak nyata orang mengerjakannya. WH mempunyai tugas yang sangat banyak dan luas, tak heran kalau Ibnu Khaldun menyetarakan fungsi wilayatul hisbah dengan fungsi Khilafah (pemerintahan). Semua yang diperintahkan dan dilarang oleh syara’ adalah tugas muhtasib (petugas WH) untuk mengawasi terlaksana atau tidak di dalam masyarakat. Ia memasuki hampir seluruh sendi kehidupan masyarakat. Kewajibannya tidak terbatas dalam hal perintah memakai jilbab, perintah melaksanakan orang yang lalai shalat jumat, melarang berbagai maksiat dan kemungkaran, tetapi juga dalam bidang ekonomi, seperti mengawasi praktik jual beli dari riba, gharar, serta kecurangan, mengawasi standar timbangan dan ukuran yang biasa digunakan, memastikan tidak ada penimbunan barang yang merugikan masyarakat, mengawasi makanan halal, juga aspek sosial-budaya, seperti melarang kegiatan hiburan yang bertentangan dengan Islam, memberantas judi buntut, minuman keras, praktik a-susila dan lain-lain.  
WH memasuki lorong-lorong kecil di kampung-kampung, setiap hari kerjanya adalah amar makruf nahi mungkar, tidak ada perkara syariat yang luput dari perhatiannya. WH adalah lembaga yang setiap hari berkampanye menumbuhkan kesadaran syariat Islam dan mengawasi pelaksanaannya dalam masyarakat. Sebab itu, Muhtasib yang baik adalah yang lebih sering berada di jalanan, di pasar, di kampung-kampung memantau pelaksanaan syariat oleh masyarakat, daripada hanya sekedar berada di kantor.
Namun demikian WH hanya bertugas mengawasi hal-hal yang tampak dan sudah ma’ruf di kalangan masyarakat. Yaitu perkara-perkara umum yang tidak ada perselisihan ulama tentang kewajiban melaksanakannya ataupun meninggalkannya, atau sering juga disebut perkara-perkara yang sudah menjadi ‘uruf (adat) dalam keseharian masyarakat. Adapun perkara-perkara detail yang masih berupa was-was, dugaan, syak wasangka, dan memerlukan investigasi secara mendalam, pembuktian, kesaksian dan sumpah adalah bukan wewenang WH, tetapi menjadi wewenang lembaga lainnya yaitu wilayatul qadha’ atau wilayatul mazalim. Untuk Aceh, WH juga bertugas mengawasi qanun-qanun yang berkaitan dengan syariat Islam yang telah ditetapkan.

2. Kewenangan WH
Di dalam keputusan Gubernur NAD No 01 tahun 2004 tentang kewenangan pembentukan Organisasi WH dijelaskan :
  1. Melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan dan pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
  2. Melakukan pembinaan dan advokasi spiritual terhadap setiap orang yang berdasarkan bukti permulaan patut diduga telah melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang syari’at Islam
  3. Menegur menasehati, mencegah dan melarang setiap orang yang patut di duga telah, sedang atau akan melakukan pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam
  4. Melimpahkan perkara pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang Syari’at Islam ke penyidik.
Setelah kehadiran Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 kedudukan WH menjadi lebih jelas. Kalau sebelumnya keberadaan WH hanya berdasarkan Qanun Aceh, maka dalam undang-undang ini  WH dianggap sebagai bagian dari SATPOL PP dan diberi nama Polisi Wilayatul Hisbah. Pengaturan tentang kewenangan, tugas, dan jenjang kepangkatan mengikuti peraturan perundang-undangan yang berlaku secara nasional. Secara nasional, tugas penegakan peraturan daerah dibebankan kepada SATPOL PP sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Artinya Qanun Provinsi ditegakkan oleh Satpol PP Provinsi sedang Qanun kabupaten/kota ditegakkan oleh Satpol PP kabupaten/kota. Sedang tugas penyidikan atas pelanggaran PERDA menjadi tugas/kewenangan PPNS sesuai dengan jenjangnya masing-masing. Dengan demikian Polisi WH hanya berwenang melakukan sosialisasi, pengawasan dan pembinaan qanun syari’at Islam dan tidak berwenang melakukan penyidikan.
Menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006, otonomi khusus yang diberikan kepada Aceh, termasuk pelaksanaan Syari’at Islam (yang akan menjadi hukum Aceh) adalah kewenangan Provinsi dan dilaksanakan melalui Qanun Provinsi (Aceh). Qanun kabupate/kota tidak berwenang mengatur pelaksanaan Syari’at Islam (otonomi khusus) kecuali atas perintah Qanun Provinsi.  Sedang tugas dan kewenangan penyidikan atas pelanggaran Qanun Provinsi menurut Undang-Undang Pemerintahan Aceh Nomor 11 Tahun 2006 dibebankan kepada PPNS Provinsi dan Penyidik Polisi, bukan hanya kepada PPNS. Dengan demikian Polisi WH baru berwenang melakukan penyidikan kalau telah memenuhi syarat dan sudah diangkat sebagai PPNS, sesuai dengan peraturan yang berlaku secara nasional.
            Dengan dibentuknya WH di NAD, maka setidaknya Aceh adalah negeri keempat di dunia Islam yang membentuk sebuah lembaga pemerintahan dengan tugas utama mengawasi pelaksanaan Syariat Islam. Ketiga negara lainnya adalah Terengganu-Malaysia, Arab Saudi berdasarkan Surat Keputusan Kerajaan Arab Saudi tanggal 3 september 1396H, dan Maroko dengan UU Nomor 22 tahun 1982.
Aceh menjadi daerah yang unik dengan membentuk dan mengembangkan kembali institusi keislaman yang nyaris punah ini. Untuk Aceh, hirarki struktural WH berada di bawah Dinas Syariat Islam. Tugas utamanya adalah mengawasi pelaksanaan syariat Islam oleh masyarakat. Posisinya sebagai “jantung” dalam Dinas Syariat Islam sangat menentukan keberhasilan atau kegagalan Dinas ini menegakkan syariat. Untuk itu landasan hukum tersendiri yang jelas yang mengatur tugas dan wewenang institusi hisbah sangat diperlukan di samping tekad yang kuat dari petugas WH menegakkan syariat.
Pembentukan institusi ini adalah sangat positif dan perlu dukungan padu semua pihak. Kunci kesuksesan WH nantinya akan terlihat ketika masyarakat dengan kesadaran keagamaan yang tinggi terwujud. Yaitu masyarakat dengan standar moral yang tinggi, keunggulan akhlak, dan menaati perkara-perkara yang sudah diwajibkan atau dilarang oleh syari'at. Tetapi, ketika maksiat kembali merajalela, perbuatan amoral merebak, masyarakat berlaku curang, menipu, dan memakan riba dalam berdagang, maka jelas, WH tidak berperan dengan sempurna. WH, juga aparat pemerintah lainnya telah gagal menegakkan syari’at.

Referensi:  Dari Berbagai Sumber

3 komentar:

  1. Kami menerima jasa desain Blog....

    Contoh desain blognya
    - http://pujiamn.blogspot.com
    - http://yayasanpulehaceh.blogspot.com
    - http://fkkadk-acehbesar.blogspot.com
    - dll...
    berminat hub. saya Pujiaman

    BalasHapus
  2. Betway App, Review & Registration - KT Hub
    We have verified Betway Casino for 제주 출장안마 you and we 창원 출장샵 have received your information, casino 포항 출장안마 bonus details, banking 구미 출장마사지 details, and promotions. We 김제 출장마사지 are

    BalasHapus